2013/09/14

Sumber ajaran islam

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa ajaran Islam ini adalah ajaran yang paling sempurna, karena memang semuanya ada dalam Islam, mulai dari urusan yang paling kecil sampai urusan negara, Islam telah memberikan petunjuk di dalamnya. Allah berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)

Bukti kesempurnaan Islam itu tercermin dari ajaran dan tuntunan kehidupan yang komprehensif dan bersumber dari kebenaran wahyu. Agama Islam memiliki aturan-aturan sebagai tuntunan hidup manusia, baik dalam hubungan dengan sang khaliq Allah SWT (hablu minawallah) maupun hubungan dengan manusia yang lainnya (hablu minannas). Tuntunan itu digariskan sebagai sebuah jalan keselamatan yang berdiri kokoh atas dasar ajaran yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya.

Di kalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Alquran dan Al-Sunnah. Sumber ajaran lainnya yaitu  ijtihad yang dipandang sebagai sebuah proses penalaran atau akal pikiran yang digunakan untuk memahami Alquran dan Al-Sunnah. Dalil tentang sumber ajaran Islam tersebut tersurat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal. Hadits itu banyak diterjemahkan sebagai berikut:

Dari Muadz : Sesungguhnya Rasulullah  saw mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda, “.Bagaimana anda nanti memberikan keputusan ?”. “Aku memberi keputusan dengan kitabullah”. “Bagaimana kalau tidak ada dalam kitabullah?”. “Maka dengan sunah Rasulullah saw.” “Bagaimana kalau tidak ada dalam sunah Rasulullah?.”  “Aku berusaha dengan ra’yu ku dan aku tidak akan menyerah.”. Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda, “segala puji bagi Allah  yang  telah membimbing utusan Rasulullah”



1.   Al Qur’an



Ditinjau dari segi kebahasaan (etimologi), Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti “bacaan” atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”. Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara’a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al Qur’an, yaitu:

“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya”.(QS 75:17-18)



Secara terminologi, Dr. Dawud Al-Attar (1979) mendefinisikan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara lisan, makna serta gaya bahasanya yang tertulis dalam kitab yang ditulis secara mutawattir. Definisi di atas mengandung beberapa kekhususan sebagai berikut:



      Seluruh ayat Al-Qur’an adalah wahyu Allah; tidak ada satu pun yang datang dari perkataan atau pikiran Nabi Muhammad

      Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk lisan dengan makna dan gaya bahasanya. Artinya isi maupun redaksi Al-Qur’an datang dari Allah sendiri.

      Al-Qur’an dinukilkan secara mutawattir, artinya Al-Qur’an disampaikan kepada orang lain secara terus menerus oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah dan berbeda-beda tempat tinggal mereka.



Al-Qur’an sebagai wahyu diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 13 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah. Al-Qur’an terdiri dari 30 Juz, 114 surat dan 6666 ayat. Ayat-ayat Al-Qur’an yang turun pada periode Mekkah sebanyak 4.780 ayat yang tercakup dalam 86 surat, dan pada periode Madinah sebanyak 1.456 ayat yang tercakup dalam 28 surat.



Selain Al-Qur’an, wahyu Allah ini diberi nama-nama lain oleh Allah, sebagaimana termaktub dalam ayat-Nya, yaitu:

        Al-Kitab, berarti sesuatu yang ditulis (QS. Ad-Dukhan: 2)

Di dalam nama ini terkandung isyarat perintah agar firman Allah itu ditulis nabi serta mengandung prediksi bahwa Al-Qur’an akan menjadi kitab abadi yang dapat dibaca manusia.

        Al-Kalam, berarti ucapan (QS. At-Taubah: 6)

Nama ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an seluruhnya ucapan Allah. Dalam kaitan ini terkandung jaminan bahwa Al-Qur’an itu suci dan seluruh ayatnya datang dari Allah yang Maha Suci dan Maha Benar.

        Az-Zikra, berarti peringatan (QS. Al-Hijr: 9)

Nama ini menunjukkan fungsi Al-Qur’an selaku motivator amal, yaitu agar manusia beramal baik dan konsisten dengan kebajikan lantaran amal perbuatan manusia akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari pembalasan.

        Al-Qasas, beraryi cerita-cerita (QS. Ali Imran, 62)

Al-Qur’an membawa cerita nyata tentang masyarakat masa silam bahkan sejak kejadian pertama kali. Kenyataan ini membenarkan pernyataan bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci tertua

        Al-Huda, berarti petunjuk (QS. At-Taubah: 33)

Nama ini menunjukkan fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk yang hanya dengannya manusia dapat mencapai keridaan Allah.

        Al-Furqan, berarti pemisah/pembeda (QS. Al-Furqan: 1)

Sebagai pedoman hidup dan kehidupan manusia, Al-Qur’an menyajikan norma dan etika secara jelas, tegas, dan tuntas terutama soal kebaikan dan keburukan.

        Al-Mau’izah, berarti nasihat (QS. Yunus: 57)

Meskipun di sana sini terdapat peringatan dan ancaman, namun secara umum gaya penyampaian Al-Qur’an amat halus. Semakin didekati Al-Qur’an semakin menjadi teman dialog dengan nasihat-nasihatnya yang menyejukkan.

        As-Syifa, berarti obat atau penawar jiwa (QS. Al-Isra: 82)

Sesungguhya akar problematika manusia terletak di dalam dadanya. Dan Al-Qur’an memberi solusi atas problematika manusia itu melalui akarnya. Ia menembus dada manusia dan menghujam hatinya.

        An-Nur, berarti cahaya (QS. An-Nisa: 174)

Nama ini mengisyaratkan Al-Qur’an sebagai cermin yang mewadahi sinar yang terpancar dari Sang Sumber Cahaya, Allah SWT. Al-Qur’an memantulkan cahaya-Nya dan karenanya ia mampu menembus hati manusia.

        Ar-Rahman, berarti karunia (QS. An-Naml: 77)

Segala pemberian Allah akan menjadi rahmat di dunia dan akhirat, ketika pemberian itu diterima, dijalani, dan dikembangkan dengan landasan Al-Qur’an.



Isi Al-Qur’an mencakup dan menyempurnakan pokok- pokok ajaran dari kitab-kitab Allah SWT yang terdahulu (Taurot, Injil, dan Zabur). Sebagian ulama mengatakan, bahwa Al-Qur’an mengandung tiga pokok ajaran: a) keimanan; b) akhlak danbudi pekerti; dan c) aturan tentang pergaulan hidup sehari-hari antar sesama manusia. Sebagian ulama yang lain berpendapat, bahwa Al-Qur’an berisi dua peraturan pokok: a) peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT; dan b) peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dan dengan alam sekitarnya.



Kandungan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan periode penurunannya, menurut Harun Nasution, dapat dibagi ke dalam bagian-bagian besar berikut ini:

Ayat-ayat mengenai dasar-dasar keyakinan atau credo dalam Islam, yang kemudian melahirkan teologi
Ayat-ayat mengenai soal hukum yang melahirkan ilmu hukum Islam
Ayat-ayat mengenai soal pengabdian kepada Tuhan yang membawa ketentuan-ketentuan tentang ibadah dalam Islam
Ayat-ayat mengenai budi pekerti luhur yang melahirkan etika Islam
Ayat-ayat mengenai dekat dan rapatnya hubungan manusia dengan Tuhan yang kemudian melahirkan mistisisme Islam
Ayat-ayat mengenai tanda-tanda dalam alam yang menunjukkan adanya Tuhan, yang membicarakan soal kejadian alam di sekitar manusia. Ayat-ayat yang serupa ini menumbuhkan pemikiran filosofis dalam Islam
Ayat-ayat mengenai hubungan golongan kaya dengan golongan msikin, dan ini membawa pada ajaran-ajaran sosiologis dalam Islam
Ayat-ayat yang ada hubungannya dengan sejarah terutama mengenai nabi-nabi dan umat mereka, sebelum Nabi Muhammad SAW. dan umat-umat lainnya yang hancur karena keangkuhan mereka. Dari ayat-ayat ini dapat diambil pelajaran.
Ayat-ayat mengenai hal-hal lainnya.






2.   Assunnah

Kata Sunnah adalah salah satu kosa kata bahasa Arab سنة (sunnah). Secara bahasa, kata السنة (al-sunnah) berarti perjalanan hidup yang baik atau yang buruk. Pengertian di atas didasarkan kepada Hadîts Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut:

Artinya: “Barangsiapa membuat sunnah yang baik maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun. Barang siapa membuat sunnah yang buruk  maka dia akan memperoleh dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”

As Sunnah menurut jumhur ahli hadits adalah sama dengan hadits yaitu: “Apa-apa yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baik berbentuk ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat baik khalqiyah (bentuk) atau khuluqiyah (akhlak).

Dilihat dari hierarki sumber hukum Islam, As-Sunnah menempati tempat kedua setelah Al-Qur’an. Penempatan ini disebabkan karena perbedaan sifat di antara keduanya. Dilihat dari segi kualitas periwayatannya al-Qur’an bersifat relative. Al-Syatibi menyatakan bahwa As-Sunnah sebagai penjelas dan penjabar Al-Qur’an.

Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :

Bayan Tafsir
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).

Bayan Taqrir
yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.

Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.



3. Ijtihad

Secara etimologi, kata ijtihad terbentuk dari kata dasar  jahada  yang berarti seseorang telah mencurahkan segala kemampuannya untuk memperoleh hakikat sesuatu. Sedangkan menurut istilah dalam ilmu fiqih, ijtihad berarti mengarahkan tenaga dan fikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan (mengistimbatkan) hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits dengan syarat-syarat tertentu.

Ijtihad mengandung pengertian bahwa mujtahid mengerahkan kemampuannya. Artinya mencurahkan kemampuan seoptimal mungkin sehingga ia merasakan bahwa dirinya tidak sanggup lagi melebihi dari tingkat itu.

Adapun syarat-syarat menjadi mujtahid adalah:



Memahami al-Qur’an dan asbab an-nuzulnya serta ayat-ayat nasikh dan mansukh.
Memahami hadits dan sebab-sebab wurudnya serta memahami hadits nasikh dan mansukh
Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab
Mengetahui tempat-tempat ijtihad
Mengetahui ushul fiqih
Memahami masyarakat dan adat istiadat dan bersifat adil dan taqwa.


Objek ijtihad adalah perbuatan yang secara eksplisit tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini memberi pengertian bahwa suatu perbuatan yang hukumnya telah ditunjuk secara jelas, tegas, dan tuntas oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak termasuuk objek ijtihad. Reaktualisasi hukum atas sesuatu perbuatan tertentu yang telah diatur secara final oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah termasuk kategori perubahan dan pergantian alias penyelewengan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.



Ijtihad perlu dilakukan oleh umat Islam dalam perjuangannya untuk mencapai suatu tujuan kebaikan dan kebenaran, mengingat pentingnya ijtihad sebagai sarana mengelola dinamika masyarakat. Tradisi ijtihad terus berkembang, dan mengalami masa keemasannya pada abad ke-2 sampai abad ke-4 H. Yang paling banyak dilakukan pada masa tersebut muncullah nama-nama mujtahid besar, yang kemudian dikenal dengan iman-imam madzhab seperti imam hanafi, imam syafi’i, imam hambali dan lain-lain.



Harun Nasution dalam bukunya “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” menjelaskan bahwa periode ijtihad dan kemajuan bersamaan masanya dengan periode kemajuan Islam I, 700 – 1000M. Periode ini disebut juga periode pengumpulan hadis, ijtihad dan fatwa sahabat dan tabi’in (generasi sesudah sahabat). Sesuai dengan bertambah luasnya daerah Islam, berbagai macam bangsa masuk Islam dengan membawa berbagai macam adat istiadat, tradisi dan sistem kemasyarakatan. Problema hukum yang dihadapi beragam pula. Untuk mengatasinya ulama-ulama banyak mengadakan ijtihad. Ijtihad mereka didasarkan atas Al-Qur’an, sunnah Nabi dan sunnah sahabat. Dengan demikian timbullah ahli-ahli hukum mujtahid yang disebut imam atau faqih (fuqaha) dalam Islam



Aktifitas ijtihad di satu pihak mengembangkan ilmu pengetahuan yang luas dan membuka ruang bagi dinamika masyarakat yang sepi, tetapi dipihak lain ijtihad itu menimbulkan perbedaan pendapat yang tajam.



Maka sesudah abad ke-4 H munculah wacana untuk menutup ijtihad dengan anggapan bahwa hasil-hasil kajian ilmu yang dilakukan sampai masa itu sudah cukup untuk menjawab berbagai masalah yang timbul kemudian. Apalagi pada masa itu tidak ada lagi mujahid besar selain keempat imam yang mampu menjadi lokomotif untuk menggerakkan gerbang pembawa gerakan ijtihad. Ada ulama terkemuka yaitu Ibnu Taimiyah (611-728 H) yang mendobrak kebekuan dengan suaranya yang keras untuk membuka kembali pintu ijtihad.




Ijtihad dipandang sebagai aktivitas penelitian ilmiah karena itu bersifat relative. Relativitas ijitihad ini menjadikannya sebagai sumber nilai yang bersifat dinamis. Pintu ijtihad selalu terbuka, termasuk membuka kembali hukum-hukum fikih yang merupakan produk ijtihad lama. Dr. Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa terdapat dua agenda besar ijtihad yang dituntut oleh peradaban modern dewasa ini, yakni ijtihad di bidang hubungan keuangan dan ekonomi serta bidang ilmu pengetahuan. Satu hal yang disepakati para ulama bahwa ijtihad tidak boleh berlaku bagi perumusan hukum aktifitas ibadah formal kepada Allah, seperti sholat. Sebab ibadah formal  merupakan hak Allah. Allah sendiri yang memiliki hak untuk menentukan macam dan cara ibadah kepada-Nya. Tata ibadah formal telah dicontohkan secara final oleh Rasulullah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar