Sebagaimana yang telah diketahui bahwa ajaran Islam
ini adalah ajaran yang paling sempurna, karena memang semuanya ada dalam Islam,
mulai dari urusan yang paling kecil sampai urusan negara, Islam telah
memberikan petunjuk di dalamnya. Allah berfirman, “Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Bukti kesempurnaan Islam itu tercermin dari ajaran dan
tuntunan kehidupan yang komprehensif dan bersumber dari kebenaran wahyu. Agama
Islam memiliki aturan-aturan sebagai tuntunan hidup manusia, baik dalam
hubungan dengan sang khaliq Allah SWT (hablu minawallah) maupun hubungan dengan
manusia yang lainnya (hablu minannas). Tuntunan itu digariskan sebagai sebuah
jalan keselamatan yang berdiri kokoh atas dasar ajaran yang diwahyukan Allah
kepada Rasul-Nya.
Di kalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber
ajaran Islam yang utama adalah Alquran dan Al-Sunnah. Sumber ajaran lainnya
yaitu ijtihad yang dipandang sebagai
sebuah proses penalaran atau akal pikiran yang digunakan untuk memahami Alquran
dan Al-Sunnah. Dalil tentang sumber ajaran Islam tersebut tersurat dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal. Hadits itu banyak diterjemahkan
sebagai berikut:
Dari Muadz : Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda,
“.Bagaimana anda nanti memberikan keputusan ?”. “Aku memberi keputusan dengan
kitabullah”. “Bagaimana kalau tidak ada dalam kitabullah?”. “Maka dengan sunah
Rasulullah saw.” “Bagaimana kalau tidak ada dalam sunah Rasulullah?.” “Aku berusaha dengan ra’yu ku dan aku tidak
akan menyerah.”. Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda, “segala puji
bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah”
1. Al Qur’an
Ditinjau dari segi kebahasaan (etimologi), Al-Qur’an
berasal dari bahasa Arab yang berarti “bacaan” atau “sesuatu yang dibaca
berulang-ulang”. Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata
kerja qara’a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga
dijumpai pada salah satu surat Al Qur’an, yaitu:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu)
dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena
itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya”.(QS
75:17-18)
Secara terminologi, Dr. Dawud Al-Attar (1979)
mendefinisikan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad secara lisan, makna serta gaya bahasanya yang tertulis dalam kitab
yang ditulis secara mutawattir. Definisi di atas mengandung beberapa kekhususan
sebagai berikut:
Seluruh
ayat Al-Qur’an adalah wahyu Allah; tidak ada satu pun yang datang dari
perkataan atau pikiran Nabi Muhammad
Al-Qur’an
diturunkan dalam bentuk lisan dengan makna dan gaya bahasanya. Artinya isi
maupun redaksi Al-Qur’an datang dari Allah sendiri.
Al-Qur’an
dinukilkan secara mutawattir, artinya Al-Qur’an disampaikan kepada orang lain
secara terus menerus oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta karena banyaknya jumlah dan berbeda-beda tempat tinggal mereka.
Al-Qur’an sebagai wahyu diturunkan secara
berangsur-angsur selama 23 tahun. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi
menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah
berlangsung selama 13 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang
turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang
dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun
pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah. Al-Qur’an terdiri dari 30 Juz,
114 surat dan 6666 ayat. Ayat-ayat Al-Qur’an yang turun pada periode Mekkah
sebanyak 4.780 ayat yang tercakup dalam 86 surat, dan pada periode Madinah
sebanyak 1.456 ayat yang tercakup dalam 28 surat.
Selain Al-Qur’an, wahyu Allah ini diberi nama-nama
lain oleh Allah, sebagaimana termaktub dalam ayat-Nya, yaitu:
Al-Kitab, berarti sesuatu yang ditulis (QS. Ad-Dukhan: 2)
Di dalam nama ini terkandung isyarat perintah agar
firman Allah itu ditulis nabi serta mengandung prediksi bahwa Al-Qur’an akan
menjadi kitab abadi yang dapat dibaca manusia.
Al-Kalam, berarti ucapan (QS. At-Taubah: 6)
Nama ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an seluruhnya ucapan
Allah. Dalam kaitan ini terkandung jaminan bahwa Al-Qur’an itu suci dan seluruh
ayatnya datang dari Allah yang Maha Suci dan Maha Benar.
Az-Zikra, berarti peringatan (QS. Al-Hijr: 9)
Nama ini menunjukkan fungsi Al-Qur’an selaku motivator
amal, yaitu agar manusia beramal baik dan konsisten dengan kebajikan lantaran
amal perbuatan manusia akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari
pembalasan.
Al-Qasas, beraryi cerita-cerita (QS. Ali Imran, 62)
Al-Qur’an membawa cerita nyata tentang masyarakat masa
silam bahkan sejak kejadian pertama kali. Kenyataan ini membenarkan pernyataan
bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci tertua
Al-Huda,
berarti petunjuk (QS. At-Taubah: 33)
Nama ini menunjukkan fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk
yang hanya dengannya manusia dapat mencapai keridaan Allah.
Al-Furqan, berarti pemisah/pembeda (QS. Al-Furqan: 1)
Sebagai pedoman hidup dan kehidupan manusia, Al-Qur’an
menyajikan norma dan etika secara jelas, tegas, dan tuntas terutama soal
kebaikan dan keburukan.
Al-Mau’izah, berarti nasihat (QS. Yunus: 57)
Meskipun di sana sini terdapat peringatan dan ancaman,
namun secara umum gaya penyampaian Al-Qur’an amat halus. Semakin didekati
Al-Qur’an semakin menjadi teman dialog dengan nasihat-nasihatnya yang
menyejukkan.
As-Syifa, berarti obat atau penawar jiwa (QS. Al-Isra: 82)
Sesungguhya akar problematika manusia terletak di
dalam dadanya. Dan Al-Qur’an memberi solusi atas problematika manusia itu
melalui akarnya. Ia menembus dada manusia dan menghujam hatinya.
An-Nur,
berarti cahaya (QS. An-Nisa: 174)
Nama ini mengisyaratkan Al-Qur’an sebagai cermin yang
mewadahi sinar yang terpancar dari Sang Sumber Cahaya, Allah SWT. Al-Qur’an
memantulkan cahaya-Nya dan karenanya ia mampu menembus hati manusia.
Ar-Rahman, berarti karunia (QS. An-Naml: 77)
Segala pemberian Allah akan menjadi rahmat di dunia
dan akhirat, ketika pemberian itu diterima, dijalani, dan dikembangkan dengan
landasan Al-Qur’an.
Isi Al-Qur’an mencakup dan menyempurnakan pokok- pokok
ajaran dari kitab-kitab Allah SWT yang terdahulu (Taurot, Injil, dan Zabur).
Sebagian ulama mengatakan, bahwa Al-Qur’an mengandung tiga pokok ajaran: a)
keimanan; b) akhlak danbudi pekerti; dan c) aturan tentang pergaulan hidup
sehari-hari antar sesama manusia. Sebagian ulama yang lain berpendapat, bahwa
Al-Qur’an berisi dua peraturan pokok: a) peraturan yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah SWT; dan b) peraturan yang mengatur hubungan manusia
dengan sesamanya, dan dengan alam sekitarnya.
Kandungan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan periode
penurunannya, menurut Harun Nasution, dapat dibagi ke dalam bagian-bagian besar
berikut ini:
Ayat-ayat mengenai dasar-dasar keyakinan atau credo
dalam Islam, yang kemudian melahirkan teologi
Ayat-ayat mengenai soal hukum yang melahirkan ilmu
hukum Islam
Ayat-ayat mengenai soal pengabdian kepada Tuhan yang
membawa ketentuan-ketentuan tentang ibadah dalam Islam
Ayat-ayat mengenai budi pekerti luhur yang melahirkan
etika Islam
Ayat-ayat mengenai dekat dan rapatnya hubungan manusia
dengan Tuhan yang kemudian melahirkan mistisisme Islam
Ayat-ayat mengenai tanda-tanda dalam alam yang
menunjukkan adanya Tuhan, yang membicarakan soal kejadian alam di sekitar
manusia. Ayat-ayat yang serupa ini menumbuhkan pemikiran filosofis dalam Islam
Ayat-ayat mengenai hubungan golongan kaya dengan
golongan msikin, dan ini membawa pada ajaran-ajaran sosiologis dalam Islam
Ayat-ayat yang ada hubungannya dengan sejarah terutama
mengenai nabi-nabi dan umat mereka, sebelum Nabi Muhammad SAW. dan umat-umat
lainnya yang hancur karena keangkuhan mereka. Dari ayat-ayat ini dapat diambil
pelajaran.
Ayat-ayat mengenai hal-hal lainnya.
2. Assunnah
Kata Sunnah adalah salah satu kosa kata bahasa Arab سنة (sunnah). Secara bahasa,
kata السنة (al-sunnah) berarti perjalanan hidup yang baik atau yang
buruk. Pengertian di atas didasarkan kepada Hadîts Nabi Saw yang diriwayatkan
oleh Muslim sebagai berikut:
Artinya: “Barangsiapa membuat sunnah yang baik maka
dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya
tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun. Barang siapa membuat sunnah yang
buruk maka dia akan memperoleh dosanya
dan dosa orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka
sedikit pun.”
As Sunnah menurut jumhur ahli hadits adalah sama
dengan hadits yaitu: “Apa-apa yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam baik berbentuk ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat baik
khalqiyah (bentuk) atau khuluqiyah (akhlak).
Dilihat dari hierarki sumber hukum Islam, As-Sunnah
menempati tempat kedua setelah Al-Qur’an. Penempatan ini disebabkan karena
perbedaan sifat di antara keduanya. Dilihat dari segi kualitas periwayatannya
al-Qur’an bersifat relative. Al-Syatibi menyatakan bahwa As-Sunnah sebagai
penjelas dan penjabar Al-Qur’an.
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah
berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat
tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan
Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
Bayan Tafsir
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal
dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah
kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat
Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula
hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah
tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
Bayan Taqrir
yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan
memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu
liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan
berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat
Al-Baqarah : 185.
Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat
Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan
supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih
(penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya
sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak
membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang
pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk
melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian
dijawab dengan hadits tersebut.
3. Ijtihad
Secara etimologi, kata ijtihad terbentuk dari kata
dasar jahada yang berarti seseorang telah mencurahkan
segala kemampuannya untuk memperoleh hakikat sesuatu. Sedangkan menurut istilah
dalam ilmu fiqih, ijtihad berarti mengarahkan tenaga dan fikiran dengan
sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan (mengistimbatkan)
hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits dengan syarat-syarat
tertentu.
Ijtihad mengandung pengertian bahwa mujtahid
mengerahkan kemampuannya. Artinya mencurahkan kemampuan seoptimal mungkin
sehingga ia merasakan bahwa dirinya tidak sanggup lagi melebihi dari tingkat
itu.
Adapun syarat-syarat menjadi mujtahid adalah:
Memahami al-Qur’an dan asbab an-nuzulnya serta
ayat-ayat nasikh dan mansukh.
Memahami hadits dan sebab-sebab wurudnya serta
memahami hadits nasikh dan mansukh
Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa
Arab
Mengetahui tempat-tempat ijtihad
Mengetahui ushul fiqih
Memahami masyarakat dan adat istiadat dan bersifat
adil dan taqwa.
Objek ijtihad adalah perbuatan yang secara eksplisit
tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini memberi pengertian bahwa
suatu perbuatan yang hukumnya telah ditunjuk secara jelas, tegas, dan tuntas
oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak termasuuk objek ijtihad.
Reaktualisasi hukum atas sesuatu perbuatan tertentu yang telah diatur secara
final oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah termasuk kategori perubahan dan pergantian
alias penyelewengan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ijtihad perlu dilakukan oleh umat Islam dalam
perjuangannya untuk mencapai suatu tujuan kebaikan dan kebenaran, mengingat
pentingnya ijtihad sebagai sarana mengelola dinamika masyarakat. Tradisi
ijtihad terus berkembang, dan mengalami masa keemasannya pada abad ke-2 sampai
abad ke-4 H. Yang paling banyak dilakukan pada masa tersebut muncullah
nama-nama mujtahid besar, yang kemudian dikenal dengan iman-imam madzhab
seperti imam hanafi, imam syafi’i, imam hambali dan lain-lain.
Harun Nasution dalam bukunya “Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya” menjelaskan bahwa periode ijtihad dan kemajuan bersamaan
masanya dengan periode kemajuan Islam I, 700 – 1000M. Periode ini disebut juga
periode pengumpulan hadis, ijtihad dan fatwa sahabat dan tabi’in (generasi
sesudah sahabat). Sesuai dengan bertambah luasnya daerah Islam, berbagai macam
bangsa masuk Islam dengan membawa berbagai macam adat istiadat, tradisi dan
sistem kemasyarakatan. Problema hukum yang dihadapi beragam pula. Untuk
mengatasinya ulama-ulama banyak mengadakan ijtihad. Ijtihad mereka didasarkan
atas Al-Qur’an, sunnah Nabi dan sunnah sahabat. Dengan demikian timbullah
ahli-ahli hukum mujtahid yang disebut imam atau faqih (fuqaha) dalam Islam
Aktifitas ijtihad di satu pihak mengembangkan ilmu
pengetahuan yang luas dan membuka ruang bagi dinamika masyarakat yang sepi,
tetapi dipihak lain ijtihad itu menimbulkan perbedaan pendapat yang tajam.
Maka sesudah abad ke-4 H munculah wacana untuk menutup
ijtihad dengan anggapan bahwa hasil-hasil kajian ilmu yang dilakukan sampai
masa itu sudah cukup untuk menjawab berbagai masalah yang timbul kemudian.
Apalagi pada masa itu tidak ada lagi mujahid besar selain keempat imam yang
mampu menjadi lokomotif untuk menggerakkan gerbang pembawa gerakan ijtihad. Ada
ulama terkemuka yaitu Ibnu Taimiyah (611-728 H) yang mendobrak kebekuan dengan
suaranya yang keras untuk membuka kembali pintu ijtihad.
Ijtihad dipandang sebagai aktivitas penelitian ilmiah
karena itu bersifat relative. Relativitas ijitihad ini menjadikannya sebagai
sumber nilai yang bersifat dinamis. Pintu ijtihad selalu terbuka, termasuk
membuka kembali hukum-hukum fikih yang merupakan produk ijtihad lama. Dr. Yusuf
Qardhawi menyatakan bahwa terdapat dua agenda besar ijtihad yang dituntut oleh
peradaban modern dewasa ini, yakni ijtihad di bidang hubungan keuangan dan
ekonomi serta bidang ilmu pengetahuan. Satu hal yang disepakati para ulama
bahwa ijtihad tidak boleh berlaku bagi perumusan hukum aktifitas ibadah formal
kepada Allah, seperti sholat. Sebab ibadah formal merupakan hak Allah. Allah sendiri yang
memiliki hak untuk menentukan macam dan cara ibadah kepada-Nya. Tata ibadah
formal telah dicontohkan secara final oleh Rasulullah.